Bugis merupakan kelompok
etnik dengan wilayah asal Sulawesi
Selatan. Populasi suku Bugis ini adalah yang terbesar di Sulawesi
Selatan, dan diperkirakan mencapai 6 juta orang pada sensus tahun 2000.
Bugis adalah suku
yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu
Deutero. Masuk ke Nusantara setelah
gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Menurut
dugaan lain, bahwa orang Bugis ini adalah penduduk penghuni daerah pesisir
Indochina, di sekitar Burma dan Thailand, yang terdesak oleh bangsa Arya yang
menginvasi daerah pesisir Indochina.
Mereka sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini. Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan menyingkir ke daerah lain.
Mereka sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini. Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan menyingkir ke daerah lain.
Orang Bugis
zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi
titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia
bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi
(Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal
to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga
setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan
komunitasnya. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang
berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama
kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten
Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi
menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La
Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah
dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang
membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman
folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan,
daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat
(ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘.
Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading,
We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai
(Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).
Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang
dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah
Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk,
Kaili, Gorontalo dan
beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Tokoh–tokoh
tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di
kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari
Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga
konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang
terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya
upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji
pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa
apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih
menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Dalam perkembangannya,
komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini
kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka
sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk
suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah
dengan Makassar dan Mandar. Saat
ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang,Barru.
Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene
Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang
kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah
di Pangkajene Kepulauan).
Pada abad
ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai
muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan
ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu
dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di
Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah.
Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu
dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian
mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari
Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan
posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah
Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan
dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek
dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta
menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone,
Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut "tellumpoccoe". Antara kerajaan Gowa dan Bone
senantiasa bersaing dalam merebut pengaruh terhadap kerajaan tetangga sehingga
wilayah Sinjai merupakan wilayah yang diincar oleh kedua kerajaan tersebut. Untuk mempertahankan wilayah garis
pantai, raja-raja Tellu Limpoe’
(Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo) bersepakat mendirikan benteng pertahanan
di Balangnipa pada tahun 1557 dan diberi nama benteng Tellu Limpoe’ atau
Benteng Balangnipa.
Melihat kondisi perkembangan
gerakan kedua kerajaan tersebut (Gowa dan Bone), maka kerajaan-kerajaan kecil
yang dalam wilayah Sinjai menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang berstatus
vederasi yang terbentuk menjadi dua kekuatan yang tidak dapat dipisahkan dalam
membendung pengaruh dari dua kerajaan besar.
Upaya pembentukan dua kekuatan
pertahanan, yaitu Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’ mengadakan kesepakatan untuk
mempertahankan wilayahnya dari pengaruh ekspansi Gowa dan Bone.
Oleh karena raja-raja yang ada
dalam wilayah Sinjai merasa dirinya sebagai satu sumber keturunan sehingga
kedua kekuatan tersebut ( Pitu Limpoe’
dan Tellu Limpoe’) menempuh jalan yang arif dengan bersikap netral menghadapi
kedua kerajaan tersebut. Sikap netral itulah sehingga menjadikan dirinya
sebagai mediator untuk melakukan perdamaian antara Gowa dan Bone.. Untuk itu
maka Tellu Limpoe’ maupun Pitu
Limpoe’ tidak melakukan pemihakan dalam
menghadapi kedua kerajaan tersebut sehingga berhasil mempertemukan kedua
kerajaan yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh.
Pada awal
abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh.
Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo,
Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk
ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Pertengahan
abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi
beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan
terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka
didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang berhianat pada kerajaan
Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La
Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang
yang dahsyat mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya.
Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan
Gowa. Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa
adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan.
Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian pada tahun
1905-1906 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La
Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis
baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal
mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek
tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong
setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar
perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia
Belanda, sampai kemudian muncul Jepang
menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa
yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan
perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang
hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan
Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona
(bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa
itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian,
oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai,
suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan
Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus
membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh. Semua
rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah
Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran
karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain
itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar
ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas
pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung
Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan
diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun
kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu
jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah
seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda
dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang
internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan
Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.
Selain sebagai perompak,
karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis
terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka
dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak
membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo
di Jawa Timur,
penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta
membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.
Setelah
dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau
Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang
Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di
tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik
kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor
& selangor yang merupakan
keturunan Luwu.
Penyebaran
Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis
umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka
merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe') di negeri orang lain. Hal
lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di
masa lalu.
Kepiawaian
suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah
perantauan mereka pun hingga hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika
Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town,
Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk
setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. Alasan merantau adalah
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis
pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi
Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi
terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh
keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih
melalui kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar