Rabu, 26 Maret 2014

Suku BUGIS



Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Populasi suku Bugis ini adalah yang terbesar di Sulawesi Selatan, dan diperkirakan mencapai 6 juta orang pada sensus tahun 2000.
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Menurut dugaan lain, bahwa orang Bugis ini adalah penduduk penghuni daerah pesisir Indochina, di sekitar Burma dan Thailand, yang terdesak oleh bangsa Arya yang menginvasi daerah pesisir Indochina.
Mereka sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini. Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan menyingkir ke daerah lain.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai). Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaanbahasaaksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, BoneWajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu LuwuBoneWajoSoppengSidrapPinrang,Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah BulukumbaSinjaiMaros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut "tellumpoccoe". Antara kerajaan Gowa dan Bone senantiasa bersaing dalam merebut pengaruh terhadap kerajaan tetangga sehingga wilayah Sinjai merupakan wilayah yang diincar oleh kedua kerajaan tersebut. Untuk mempertahankan wilayah garis pantai, raja-raja Tellu Limpoe’  (Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo) bersepakat mendirikan benteng pertahanan di Balangnipa pada tahun 1557 dan diberi nama benteng Tellu Limpoe’ atau Benteng Balangnipa.
            Melihat kondisi perkembangan gerakan kedua kerajaan tersebut (Gowa dan Bone), maka kerajaan-kerajaan kecil yang dalam wilayah Sinjai menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang berstatus vederasi yang terbentuk menjadi dua kekuatan yang tidak dapat dipisahkan dalam membendung pengaruh dari dua kerajaan besar.
            Upaya pembentukan dua kekuatan pertahanan, yaitu Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’ mengadakan kesepakatan untuk mempertahankan wilayahnya dari pengaruh ekspansi Gowa dan Bone.
            Oleh karena raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai merasa dirinya sebagai satu sumber keturunan sehingga kedua kekuatan tersebut  ( Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’) menempuh jalan yang arif dengan bersikap netral menghadapi kedua kerajaan tersebut. Sikap netral itulah sehingga menjadikan dirinya sebagai mediator untuk melakukan perdamaian antara Gowa dan Bone.. Untuk itu maka  Tellu Limpoe’ maupun Pitu Limpoe’  tidak melakukan pemihakan dalam menghadapi kedua kerajaan tersebut sehingga berhasil mempertemukan kedua kerajaan yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh.
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang berhianat pada kerajaan Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa. Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian pada tahun 1905-1906 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh. Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.
Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand.
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor & selangor yang merupakan keturunan Luwu.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe') di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. Alasan merantau adalah Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENU BAR