Setiap
makhluk termasuk manusia, pada umumnya hanya memiliki dua macam jenis kelamin,
lelaki dan perempuan. Pembagian jenis kelamin ini dikenal di seluruh
dunia yang kemudian dibarengi dengan tuntutan peran sosial yang kemudian
disebut gender.
Namun, dalam
hal tradisi dan adat-istiadat, tidak semua budaya memiliki pandangan yang sama
dalam hal pembagian gender yang hanya dua itu. Ada Beberapa masyarakat yang
membagi gender dalam tiga, lima bahkan lebih.
Bahkan masyarakat
Muangthai mengenal sekitar 10 gender, yang juga dibarengi dengan tuntutan
kefemininan dan kemaskulinan dari masing-masing gender yang berbeda-beda.
Suku Bugis
di Sulawesi Selatan membagi masyarakat mereka menjadi 5 jenis kelamin yang
terpisah.
“Oroane“ artinya pria atau lelaki, biasanya jenis kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan.
“Oroane“ artinya pria atau lelaki, biasanya jenis kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan.
“Makkunrai“ artinya wanita atau
perempuan. Mereka kerapkali dituntut untuk menjadi feminin, jatuh cinta dan
bersedia menikah dengan lelaki, mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib
melayani suami.
“Calalai” sebagai gender ketiga
yang diakui dalam kebudayaan Bugis. Calalai
ini perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki, Calalai biasa juga disebut perempuan
maskulin / tomboy. Bahasa Makassarnya ‘Balaki’.
Kelompok ini mengacu pada orang yang ditugaskan
perempuan saat lahir tetapi mengambil peran laki-laki heteroseksual dalam
masyarakat Bugis. Calalai
individu yang tidak "bertransisi" seperti kebanyakan orang trans gender
Barat, calalai hanya berpakaian dan
menampilkan diri dalam mode maskulin pria.
“Calabai”
merupakan salahsatu dari 5 jenis kelamin dalam kebudayaan Bugis. Calabai adalah laki-laki yang
berpenampilan seperti layaknya perempuan. Menurut
sistem gender Bugis, calabai adalah 'wanita palsu'. Oleh karena itu, orang-orang ini umumnya laki-laki secara
fisik tapi mengambil peran seorang perempuan heteroseksual. Mode dan ekspresi gender seorang calabai jelas feminin, tetapi tidak cocok dengan "khas"
gender wanita.
”Jika
ada acara pernikahan dalam masyarakat bugis, sangat jarang calabai tidak dilibatkan dalam hal
pengaturannya. Jika waktu pernikahan sudah disepakati, keluarga akan menlibatkan
Calabai dan menegosisasikan rencana
pernikahan. Calabai
akan bertanggung jawab untuk banyak hal: pengaturan dan dekorasi tenda mengatur kursi pengantin, gaun pengantin, kostum untuk pengantin pria dan keseluruhan rangkaian pesta pernikahan (hitungan sampai 25), make up untuk semua yang terlibat,
dan semua makanan. Sangat jarang saya menghadiri pesta pernikahan yang tamunya
kurang dari 1000 orang. Pada hari H, beberapa calabai ada yang tetap di dapur
menyiapkan makanan sementara yang lainnya ada yang menjadi bagian dari
penjemput tamu, menunjukkan tamu ke tempat duduk mereka” [Sharyn Graham]
“Bissu”, sebagai gender kelima berbeda
dengan 4 gender yang lain. Mereka adalah golongan yang disebut ‘bukan lelaki
bukan pula perempuan’. Bissu
atau kelompok orang orang mistik, dalam
budaya Bugis mereka memiliki posisi yang sangat penting. Pada setiap upacara
adat Bugis, mereka bertindak sebagai ‘pendeta’ atau ‘pemangku adat’. Mereka
masih menjaga teguh tradisi dan peran serta kebiasaan turun temurun nilai-nilai
budaya bugis klasik dan diilustrasikan sebagai manusia setengah dewa yang
mempunyai kekuatan Supranatural.
Mereka memanfaatkan hubungan dengan dunia
ghaib dan bertindak sebagai mediator dari roh yang memasukinya. Setelah kerasukan barulah mereka dapat
melaksanakan kegiatan upacara ritual, seperti Maggiri, yakni sebuah ritual
menikam diri sendiri. Selain untuk perhelatan acara di kerajaan, peran
komunitas bissu juga sangat dominan pada kegiatan adat seperti mappalili atau turun sawah.
Upacara tersebut dilakukan selama tujuh hari tujuh malam dengan membaca mantra mantera
yang biasa disebut dengan Mattesu
Arajang, yakni semacam ritual adat untuk memohon restu Dewata
dilangit. Menurut pendapat para bissu, hanya dengan restu para Dewata, para
petani dan masyarakat dapat memanen hasil tanam yang baik. Oleh karenanya, acara
Mattedu Arajang juga dipandang sakral oleh masyarakat tradisional
Bugis.
Peran
sosial seorang Bissu lebih terkait
dengan aspek spiritual daripada sisi seksualitasnya. Keberadaan kaum Bissu yang
berada diluar gender memberikan ruang lebih bagi mereka untuk berada dalam alam
pertengahan yang tidak mampu disentuh oleh kita yang terikat gender tertentu.
Bissu yang konon dalam tradisi adat dan budaya Sulsel yang berakar kepada
kerajaan Luwu, mendapat tempat terhormat dan seringkali dimintai nasihat ketika
“persetujuan tertentu” dari kekuasaan
dunia batin (spiritual) diperlukan. Hal ini terjadi misalnya ketika orang Bugis
Sulawesi berangkat untuk perjalanan naik haji ke Mekah. Dalam
situasi ketika dimintai nasihat, seorang Bissu akan melakukan ritual untuk
mengizinkan jin yang
sangat baik untuk merasuki mereka dan untuk berbicara sebagai utusan dari dunia
tak nampak.
Secara
historis, konon keberadaan Bissu
dalam sejarah masyarakat Bugis bersamaan dengan kelahiran suku Bugis itu
sendiri. Bermula ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis turun ke
bumi dari dunia atas (botinglangi’)
dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili
Timo yang berasal dari dunia bawah (bori’liung),
seperti tertulis dalam sure’ I La Galigo. Bersamaan dengan itu turun pula
seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur
orang Bugis tersebut. Sejak masa awal sejarah, masyarakat Bugis mempunyai
sistem kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi atau To PalanroE. Sistem kepercayaan ini disebut juga attoriolong,
atau secara harafiah berarti “mengikuti tata cara leluhur”. Lewat attiorolong diwariskan
petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan masyarakat. Sampai sekarang,
kepercayaan ini sebenarnya tidak benar-benar punah.
Dewa
tertinggi dalam attoriolong disebut PattotoE, yang diyakini mempunyai anggota keluarga dewata lain
dengan bermacam tugas. Setelah menciptakan alam raya, dewa penentu nasib ini
kemudian beristirahat. Untuk memuja PattotoE atau
sejak masa Islam disebut juga Dewata
SeuwaE, tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa
pembantu-pembantunya. “Ini semacam konsep deisme. Kepercayaan di Sulawesi
memang pertemuan antara kepercayaan yang ada di Barat, seperti Jawa atau
Kalimantan, dengan Timur, seperti di Papua,” kata Dr Halilintar Lathief,
peneliti budaya Bugis yang tinggal di Makassar
Dalam attoriolong,
Bissu adalah perantara antara langit dengan bumi. Ini dimungkinkan karena Bissu menguasai Basa Torilangi, atau bahasa langit yang
hanya dimengerti sesama Bissu dan para dewa. Lewat bahasa itu, Bissu membacakan mantra dan doa dalam
berbagai upacara keagamaan baik bersifat kenegaraan atau kelompok keluarga.
Oleh karena itu, peran Bissu pun
mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat Bugis masa lampau. Bertanya hari
baik untuk mengadakan acara penting hingga penobatan pemimpin atau raja
dilakukan oleh Bissu. Bahkan menurut
mitos, raja yang tidak didoakan oleh Bissu
tidak akan memiliki kharisma selama masa kepemimpinannya.
Terlepas
dari segala keunikan yang dimiliki Bissu, kini keberadaan Bissu semakin langka
dan hampir punah. Kalau dahulu, dalam setiap kerajaan – sekarang kurang lebih
setingkat kabupaten – minimal terdapat 40 Bissu. Saat ini tidak ada satupun
komunitas bisa mencapai angka demikian. Di Segeri misalnya, kini hanya terdapat
tak lebih dari empat Bissu.
Kendala
lain adalah soal beratnya persyaratan menjadi Bissu. Untuk menjadi Bissu, seorang
waria harus mendapat panggilan spiritual, yang bisa berupa mimpi, sakit, atau
pertanda lain. Bila si waria sudah bertekad bulat, ia harus magang belajar di
rumah puang matowa selama beberapa waktu sebelum dinyatakan siap
ditahbiskan dalam upacara irreba. Meski telah melewati masa belajar hingga
bertahun-tahun, belum tentu semua Bissu akan lulus.
Sekedar
diketahui bahwa komunitas Bissu
pangkep tergolong Bissu Dewatae,
sebuah komunitas Bissu
yang amat dihormati oleh komunitas bissu lainnya di tanah bugis. Sekarang ini
Komunitas Bissu pangkep di pimpin oleh Puang Matoa SAIDI yang berkedudukan di
‘istana’ ArajangE Segeri Pangkep.Kelompok ini termasuk langka, namun mudah
ditandai dengan pakaian khusus yang mereka pakai dalam keseharian. Merekalah
yang bertugas menjaga dan melestarikan nilai – nilai budaya dan adat Bugis yang
asli agar tidak punah.Bissu, juga merupakan kombinasi dari sifat keempat gender
yang ada.
Puang Upe,
salah satu bissu dari Segeri Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan,
telihat risau ketika menceritakan regenerasi para bissu di masa mendatang.
Masyarakat lokal di daerahnya terlihat enggan untuk memesan mereka lagi dalam
ritual-ritual adat.
Puang Upe pun bertanya-tanya,
apakah masyarakat di era ini sudah lupa pada dewata yang sudah memberi hidup?
Itulah
ungkapan Puang Upe, usai mementaskan Tarian Mabissu, tarian penghormatan pada
dewata, Minggu malam (8/7), di Institut Seni Indonesia (ISI), Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Dengan bahasa bugis, Puang Upe
menceritakan tentang keberadaan komunitas bissu di daerah Segeri Mandalle yang
kian menyusut. Dari sebelumnya sekitar 40 orang, kini hanya menjadi 12 orang
saja.
Katanya, sebagian bissu
dibunuh dan sebagian lagi melepaskan atribut bissu untuk berpindah ke profesi
lain seperti petani atau perias pengantin. “Saat ini kami tidak lagi
diistimewakan. Kami tidak lagi hidup mewah bersama raja, melainkan harus hidup
mandiri dengan menunggu sumbangan masyarakat yang akan menyelenggarakan adat.
Ironisnya, upacara ritual jarang diadakan,” keluh Puang Upe.
Tidak semua orang mengenal
pendeta agama bugis kuno ini. Zaman pra Islam, bissu memiliki peranan istimewa
karena merupakan operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara
tradisional. Untuk itulah, bissu harus menjauhi hal–hal yang bersifat duniawi.
Bissu
memiliki dua elemen gender manusia yakni laki-laki dan perempuan. Artinya,
bissu diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat perempuan. Mereka akan
berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminin, namun
tetap memakai atribut maskulin.
“Tidak semua orang bisa
menjadi bissu. Biasanya yang menjadi bissu akan mendapatkan panggilan gaib
lewat mimpi. Setelah mendapat bisikan ini, orang tersebut harus melapor pada
pemimpin bissu atau puwang matowa untuk ditahbiskan,” kata Puang Upe.
Bissu
memiliki kedudukan lebih tinggi dari raja karena menjadi penasehat raja dan
dewan adat. Oleh karenanya kebutuhan bissu mendapat tunjangan hidup raja dari
sumbangan masyarakat.
Sebelum ajaran Islam ke
Sulawesi pada awal abad XVII, bissu berperan penting dalam upacara adat seperti
upacara pelantikan raja, kelahiran, kematian, pertanian. Dalam upacara adat
itu, mereka akan menarikan Tari Mabbisu atau tarian mistis dengan memutari
benda yang dikeramatkan yang diyakini sebagai tampat roh leluhur beristirahat.
Puncak dari
Tarian Mabbisu adalah gerakan maggiri yakni menusukkan keris ke bagian tubuh
seperti perut, telapak tangan, perut, dan tenggorokan. Masyarakat Sulawesi
percaya, ketika bagian tubuh bissu yang ditusuk keris tidak berdarah, maka roh
leluhur sudah merasuki bissu. Dengan demikian masyarakat percaya permohonan
mereka didengar oleh leluhur dan harapannya dewata memberikan berkat kepada
mereka.
Pesatnya
agama Islam di Sulawesi membuat peranan bissu mulai ditinggalkan. Mereka
tidak lagi menetap di kerajaan, melainkan berkumpul dengan masyarakat sekitar.
Bahkan, saat pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kahar Mudzakar, bissu–bissu ini
dibunuh serta dipaksa untuk menjadi laki-laki sejati sesuai ajaran agama.
“Saat ini
ada dua buah kubu bissu. Kubu pertama adalah bissu yang benar-benar
mempertahankan tradisi leluhur, dan bissu kedua yang melepaskan nilai
kesrakalan,” ujar Puang Upe yang sampai saat ini ikut dalam kubu pertama.
Puang Upe melanjutkan,
regenerasi menjadi kegetiran mereka saat ini. Meski ia belum bisa menjawabnya
sampai sekarang, ia yakin bila kehidupan bissu akan tetap ada berdampingan
dengan generasi selanjutnya. Panggilan–panggilan gaib itu akan terus mendatangi
calon-calon bissu berikutnya dengan waktu yang tidak bisa ditentukan.
Ariyanti
Sultan, Pencipta Tari dari Institut Seni Indonesia yang juga mendalami
kehidupan bissu di Sulawesi ini mengatakan bahwa kehidupan bissu di masa
sekarang dan mendatang akan terancam.
Menurutnya, ada dua faktor
yang berpengaruh yakni perubahan sistem pemerintah dari sistem kerajaan menjadi
kesatuan, serta sulitnya bissu beradaptasi di era teknologi komunikasi saat
ini. Untuk itulah, persoalan yang muncul adalah regenerasi dan kepemimpinan
baru para bissu.
Bissu perlu
diberikan ruang tersendiri untuk hidup karena merupakan bagian dari budaya.
Peranan mereka dalam upacara-upacara adat seharusnya bisa didayagunakan kembali
untuk meningkatkan daya tarik wisata di sana.
“Upacara
ritual dan bissu sudah menjadi icon wisata. Seharusnya pemerintah memberikan
ruang untuk ini karena merupakan local wisdom yang bagus dan menarik.
Sayangnya, pemerintah tidak memperhatikan icon pariwisata ini,” kata Ariyanti.
Entah
sampai kapan bissu-bissu ini akan dilirik oleh pemerintah untuk turut serta
dalam pengembangan budaya dan pariwisata. Bissu dan upacara ritual adalah
kekayaan budaya yang mahal nilainya. Di tengah kekhawatiran akan klaim budaya
negara lain, setidaknya bissu juga menjadi catatan khusus pemerintah sebagai
warisan budaya asli Indonesia. [sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan]
*dari
berbagi sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar