Sabtu, 29 Maret 2014

5 Gender dalam kebudayaan Bugis



Setiap makhluk termasuk manusia, pada umumnya hanya memiliki dua macam jenis kelamin, lelaki dan perempuan.  Pembagian jenis kelamin ini dikenal di seluruh dunia yang kemudian dibarengi dengan tuntutan peran sosial yang kemudian disebut gender.
Namun, dalam hal tradisi dan adat-istiadat, tidak semua budaya memiliki pandangan yang sama dalam hal pembagian gender yang hanya dua itu. Ada Beberapa masyarakat yang membagi gender dalam tiga, lima bahkan lebih.
Bahkan masyarakat  Muangthai mengenal sekitar 10 gender, yang juga dibarengi dengan tuntutan kefemininan dan kemaskulinan dari masing-masing gender yang berbeda-beda.
Suku Bugis di Sulawesi Selatan membagi masyarakat mereka menjadi 5 jenis kelamin yang terpisah. 
“Oroane“ artinya pria atau lelaki, biasanya jenis kelamin ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin hubungan dengan perempuan.
“Makkunrai“ artinya wanita atau perempuan. Mereka kerapkali dituntut untuk menjadi feminin, jatuh cinta dan bersedia menikah dengan lelaki, mempunyai anak dan mengurusnya serta wajib melayani suami.
“Calalai” sebagai gender ketiga yang diakui dalam kebudayaan Bugis. Calalai ini perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki, Calalai biasa juga disebut perempuan maskulin / tomboy. Bahasa Makassarnya ‘Balaki’. Kelompok ini mengacu pada orang yang ditugaskan perempuan saat lahir tetapi mengambil peran laki-laki heteroseksual dalam masyarakat Bugis. Calalai individu yang tidak "bertransisi" seperti kebanyakan orang trans gender Barat, calalai hanya berpakaian dan menampilkan diri dalam mode maskulin pria.
“Calabai” merupakan salahsatu dari 5 jenis kelamin dalam kebudayaan Bugis. Calabai adalah laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan. Menurut sistem gender Bugis, calabai adalah 'wanita palsu'. Oleh karena itu, orang-orang ini umumnya laki-laki secara fisik tapi mengambil peran seorang perempuan heteroseksual. Mode dan ekspresi gender seorang calabai jelas feminin, tetapi tidak cocok dengan "khas" gender wanita.
”Jika ada acara pernikahan dalam masyarakat bugis, sangat jarang calabai tidak dilibatkan dalam hal pengaturannya. Jika waktu pernikahan sudah disepakati, keluarga akan menlibatkan Calabai dan menegosisasikan rencana pernikahan. Calabai akan bertanggung jawab untuk banyak hal: pengaturan dan dekorasi tenda mengatur kursi pengantin, gaun pengantin, kostum untuk pengantin pria dan keseluruhan rangkaian pesta pernikahan (hitungan sampai 25), make up untuk semua yang terlibat, dan semua makanan. Sangat jarang saya menghadiri pesta pernikahan yang tamunya kurang dari 1000 orang. Pada hari H, beberapa calabai ada yang tetap di dapur menyiapkan makanan sementara yang lainnya ada yang menjadi bagian dari penjemput tamu, menunjukkan tamu ke tempat duduk mereka” [Sharyn Graham]
  
“Bissu”, sebagai gender kelima berbeda dengan 4 gender yang lain. Mereka adalah golongan yang disebut ‘bukan lelaki bukan pula perempuan’. Bissu atau kelompok orang orang mistik, dalam budaya Bugis mereka memiliki posisi yang sangat penting. Pada setiap upacara adat Bugis, mereka bertindak sebagai ‘pendeta’ atau ‘pemangku adat’. Mereka masih menjaga teguh tradisi dan peran serta kebiasaan turun temurun nilai-nilai budaya bugis klasik dan diilustrasikan sebagai manusia setengah dewa yang mempunyai kekuatan Supranatural. Mereka memanfaatkan hubungan dengan dunia ghaib dan bertindak sebagai mediator dari roh yang memasukinya. Setelah kerasukan barulah mereka dapat melaksanakan kegiatan upacara ritual, seperti Maggiri, yakni sebuah ritual menikam diri sendiri. Selain untuk perhelatan acara di kerajaan, peran komunitas bissu juga sangat dominan pada kegiatan adat seperti mappalili atau turun sawah. Upacara tersebut dilakukan selama tujuh hari tujuh malam dengan membaca mantra mantera yang biasa disebut dengan Mattesu Arajang, yakni semacam ritual adat untuk memohon restu Dewata dilangit. Menurut pendapat para bissu, hanya dengan restu para Dewata, para petani dan masyarakat dapat memanen hasil tanam yang baik. Oleh karenanya, acara Mattedu Arajang juga dipandang sakral oleh masyarakat tradisional Bugis.
Peran sosial seorang Bissu lebih terkait dengan aspek spiritual daripada sisi seksualitasnya. Keberadaan kaum Bissu yang berada diluar gender memberikan ruang lebih bagi mereka untuk berada dalam alam pertengahan yang tidak mampu disentuh oleh kita yang terikat gender tertentu. Bissu yang konon dalam tradisi adat dan budaya Sulsel yang berakar kepada kerajaan Luwu, mendapat tempat terhormat dan seringkali dimintai nasihat ketika “persetujuan tertentu” dari kekuasaan dunia batin (spiritual) diperlukan. Hal ini terjadi misalnya ketika orang Bugis Sulawesi berangkat untuk perjalanan naik haji ke Mekah. Dalam situasi ketika dimintai nasihat, seorang Bissu akan melakukan ritual untuk mengizinkan jin yang sangat baik untuk merasuki mereka dan untuk berbicara sebagai utusan dari dunia tak nampak.
Secara historis, konon keberadaan Bissu dalam sejarah masyarakat Bugis bersamaan dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Bermula ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis turun ke bumi dari dunia atas (botinglangi’) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (bori’liung), seperti tertulis dalam sure’ I La Galigo. Bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Sejak masa awal sejarah, masyarakat Bugis mempunyai sistem kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi atau To PalanroE. Sistem kepercayaan ini disebut juga attoriolong, atau secara harafiah berarti “mengikuti tata cara leluhur”. Lewat attiorolong diwariskan petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan masyarakat. Sampai sekarang, kepercayaan ini sebenarnya tidak benar-benar punah.
Dewa tertinggi dalam attoriolong disebut PattotoE, yang diyakini mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan bermacam tugas. Setelah menciptakan alam raya, dewa penentu nasib ini kemudian beristirahat. Untuk memuja PattotoE atau sejak masa Islam disebut juga Dewata SeuwaE, tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantu-pembantunya. “Ini semacam konsep deisme. Kepercayaan di Sulawesi memang pertemuan antara kepercayaan yang ada di Barat, seperti Jawa atau Kalimantan, dengan Timur, seperti di Papua,” kata Dr Halilintar Lathief, peneliti budaya Bugis yang tinggal di Makassar
Dalam attoriolong, Bissu adalah perantara antara langit dengan bumi. Ini dimungkinkan karena Bissu menguasai Basa Torilangi, atau bahasa langit yang hanya dimengerti sesama Bissu dan para dewa. Lewat bahasa itu, Bissu membacakan mantra dan doa dalam berbagai upacara keagamaan baik bersifat kenegaraan atau kelompok keluarga. Oleh karena itu, peran Bissu pun mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat Bugis masa lampau. Bertanya hari baik untuk mengadakan acara penting hingga penobatan pemimpin atau raja dilakukan oleh Bissu. Bahkan menurut mitos, raja yang tidak didoakan oleh Bissu tidak akan memiliki kharisma selama masa kepemimpinannya.
Terlepas dari segala keunikan yang dimiliki Bissu, kini keberadaan Bissu semakin langka dan hampir punah. Kalau dahulu, dalam setiap kerajaan – sekarang kurang lebih setingkat kabupaten – minimal terdapat 40 Bissu. Saat ini tidak ada satupun komunitas bisa mencapai angka demikian. Di Segeri misalnya, kini hanya terdapat tak lebih dari empat Bissu.
Kendala lain adalah soal beratnya persyaratan menjadi Bissu. Untuk menjadi Bissu, seorang waria harus mendapat panggilan spiritual, yang bisa berupa mimpi, sakit, atau pertanda lain. Bila si waria sudah bertekad bulat, ia harus magang belajar di rumah puang matowa selama beberapa waktu sebelum dinyatakan siap ditahbiskan dalam upacara irreba. Meski telah melewati masa belajar hingga bertahun-tahun, belum tentu semua Bissu akan lulus.
Sekedar diketahui bahwa komunitas Bissu pangkep tergolong Bissu Dewatae, sebuah komunitas Bissu yang amat dihormati oleh komunitas bissu lainnya di tanah bugis. Sekarang ini Komunitas Bissu pangkep di pimpin oleh Puang Matoa SAIDI yang berkedudukan di ‘istana’ ArajangE Segeri Pangkep.Kelompok ini termasuk langka, namun mudah ditandai dengan pakaian khusus yang mereka pakai dalam keseharian. Merekalah yang bertugas menjaga dan melestarikan nilai – nilai budaya dan adat Bugis yang asli agar tidak punah.Bissu, juga merupakan kombinasi dari sifat keempat gender yang ada.
Puang Upe, salah satu bissu dari Segeri Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, telihat risau ketika menceritakan regenerasi para bissu di masa mendatang. Masyarakat lokal di daerahnya terlihat enggan untuk memesan mereka lagi dalam ritual-ritual adat.

Puang Upe pun bertanya-tanya, apakah masyarakat di era ini sudah lupa pada dewata yang sudah memberi hidup?

Itulah ungkapan Puang Upe, usai mementaskan Tarian Mabissu, tarian penghormatan pada dewata, Minggu malam (8/7), di Institut Seni Indonesia (ISI), Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan bahasa bugis, Puang Upe menceritakan tentang keberadaan komunitas bissu di daerah Segeri Mandalle yang kian menyusut. Dari sebelumnya sekitar 40 orang, kini hanya menjadi 12 orang saja.

Katanya, sebagian bissu dibunuh dan sebagian lagi melepaskan atribut bissu untuk berpindah ke profesi lain seperti petani atau perias pengantin. “Saat ini kami tidak lagi diistimewakan. Kami tidak lagi hidup mewah bersama raja, melainkan harus hidup mandiri dengan menunggu sumbangan masyarakat yang akan menyelenggarakan adat. Ironisnya, upacara ritual jarang diadakan,” keluh Puang Upe.

Tidak semua orang mengenal pendeta agama bugis kuno ini. Zaman pra Islam, bissu memiliki peranan istimewa karena merupakan operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara tradisional. Untuk itulah, bissu harus menjauhi hal–hal yang bersifat duniawi.

Bissu memiliki dua elemen gender manusia yakni laki-laki dan perempuan. Artinya, bissu diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat perempuan. Mereka akan berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminin, namun tetap memakai atribut maskulin.

“Tidak semua orang bisa menjadi bissu. Biasanya yang menjadi bissu akan mendapatkan panggilan gaib lewat mimpi. Setelah mendapat bisikan ini, orang tersebut harus melapor pada pemimpin bissu atau puwang matowa untuk ditahbiskan,” kata Puang Upe.

Bissu memiliki kedudukan lebih tinggi dari raja karena menjadi penasehat raja dan dewan adat. Oleh karenanya kebutuhan bissu mendapat tunjangan hidup raja dari sumbangan masyarakat.

Sebelum ajaran Islam ke Sulawesi pada awal abad XVII, bissu berperan penting dalam upacara adat seperti upacara pelantikan raja, kelahiran, kematian, pertanian. Dalam upacara adat itu, mereka akan menarikan Tari Mabbisu atau tarian mistis dengan memutari benda yang dikeramatkan yang diyakini sebagai tampat roh leluhur beristirahat.

Puncak dari Tarian Mabbisu adalah gerakan maggiri yakni menusukkan keris ke bagian tubuh seperti perut, telapak tangan, perut, dan tenggorokan. Masyarakat Sulawesi percaya, ketika bagian tubuh bissu yang ditusuk keris tidak berdarah, maka roh leluhur sudah merasuki bissu. Dengan demikian masyarakat percaya permohonan mereka didengar oleh leluhur dan harapannya dewata memberikan berkat kepada mereka.

Pesatnya agama Islam di Sulawesi membuat peranan  bissu mulai ditinggalkan. Mereka tidak lagi menetap di kerajaan, melainkan berkumpul dengan masyarakat sekitar. Bahkan, saat pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kahar Mudzakar, bissu–bissu ini dibunuh serta dipaksa untuk menjadi laki-laki sejati sesuai ajaran agama.

“Saat ini ada dua buah kubu bissu. Kubu pertama adalah bissu yang benar-benar mempertahankan tradisi leluhur, dan bissu kedua yang melepaskan nilai kesrakalan,” ujar Puang Upe yang sampai saat ini ikut dalam kubu pertama.

Puang Upe melanjutkan, regenerasi menjadi kegetiran mereka saat ini. Meski ia belum bisa menjawabnya sampai sekarang, ia yakin bila kehidupan bissu akan tetap ada berdampingan dengan generasi selanjutnya. Panggilan–panggilan gaib itu akan terus mendatangi calon-calon bissu berikutnya dengan waktu yang tidak bisa ditentukan.

Ariyanti Sultan, Pencipta Tari dari Institut Seni Indonesia yang juga mendalami kehidupan bissu di Sulawesi ini mengatakan bahwa kehidupan bissu di masa sekarang dan mendatang akan terancam.

Menurutnya, ada dua faktor yang berpengaruh yakni perubahan sistem pemerintah dari sistem kerajaan menjadi kesatuan, serta sulitnya bissu beradaptasi di era teknologi komunikasi saat ini. Untuk itulah, persoalan yang muncul adalah regenerasi dan kepemimpinan baru para bissu.

Bissu perlu diberikan ruang tersendiri untuk hidup karena merupakan bagian dari budaya. Peranan mereka dalam upacara-upacara adat seharusnya bisa didayagunakan kembali untuk meningkatkan daya tarik wisata di sana.  

“Upacara ritual dan bissu sudah menjadi icon wisata. Seharusnya pemerintah memberikan ruang untuk ini karena merupakan local wisdom yang bagus dan menarik. Sayangnya, pemerintah tidak memperhatikan icon pariwisata ini,” kata Ariyanti.

Entah sampai kapan bissu-bissu ini akan dilirik oleh pemerintah untuk turut serta dalam pengembangan budaya dan pariwisata. Bissu dan upacara ritual adalah kekayaan budaya yang mahal nilainya. Di tengah kekhawatiran akan klaim budaya negara lain, setidaknya bissu juga menjadi catatan khusus pemerintah sebagai warisan budaya asli Indonesia. [sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan]
*dari berbagi sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENU BAR