Kabupaten Sinjai adalah salah satu Daerah
Tingkat II di provinsi Sulawesi
Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Sinjai. Kota
Sinjai berjarak sekitar ±220 km dari Kota Makassar. Kabupaten ini memiliki luas
wilayah 819,96 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 225.000
jiwa.
Kabupaten
Sinjai mempunyai nilai historis tersendiri, dibanding dengan
kabupaten - kabupaten lain yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Dulu terdiri dari
beberapa kerajaan-kerajaan, seperti kerajaan yang tergabung dalam federasi
Tellu Limpoe dan kerajaan - kerajaan yang tergabung dalam federasi Pitu Limpoe.
Tellu limpoe terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berada dekat pesisir pantai
yakni Kerajaan Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti, serta Pitu Limpoe adalah
kerajaan-kerajaan yang berada di daratan tinggi yakni Kerajaan Turungen,
Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.
Kabupaten Sinjai berdasarkan penelusuran sejarah, dimulai dari pemukiman pertama di WAWO BULU' Manipi Kecamatan Sinjai Barat di sebelah timur Malino. Dalam lontara susunan raja-raja yang ada di Sinjai pada masa lampau, bahwa yang pertama menjadi Raja dan Arung ialah MANURUNG TANRALILI, yang kemudian dikenal dengan gelar TIMPA’E TANA atau TO PASAJA. Keturunan Puatta TIMPA’E TANA atau TO PASAJA merupakan cikal bakal dan pendiri Kerajaan Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti. Adapun kerajaan yang pertama berkembang di wilayah PITU LIMPOE adalah Kerajaan TurungEng, Rajanya adalah seorang wanita yang diperistrikan oleh Putra Raja Tallo. Salah seorang wanita kawin dengan seorang putra Raja Bone, dari perkawinan itu lahirlah tujuh orang anak, yaitu seorang anak wanita dan enam orang laki-laki. Anak yang wanita kemudian menggantikan ibunya memerintah di TurungEng, sementara yang lain ada di Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.
Watak dan
karakter masyarakat tercermin dari system pemerintahan demokratis dan
berkedaulatan rakyat. Komunikasi politik di antara kerajaan-kerajaan dibangun
melalui landasan tatanan kesopanan yakni Sipakatau yaitu Saling menghormati,
serta menjunjung tinggi nilai-nilai konsep Sirui Menre’ Tessirui No’ yakni
saling menarik ke atas, pantang saling menarik ke bawah, mallilu sipakainge
yang bermakna bila khilaf saling mengingatkan. Sekalipun dari ketiga kerajaan
tersebut tergabung ke dalam Persekutuan Kerajaan Tellu Limpoe namun
pelaksanana roda pemerintahan tetap berjalan pada wilayahnya masing-masing
tanpa ada pertentangan dan peperangan yang terjadi di antara mereka.
Bila
ditelusuri hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada di kabupaten Sinjai pada
masa lalu, maka nampaklah dengan jelas bahwa ia terjalin dengan erat oleh tali
kekeluargaan yang dalam Bahasa Bugis disebut SIJAI artinya sama jahitannya. Hal
ini diperjelas dengan adanya gagasan dari LAMASSIAJENG Raja Lamatti X untuk
memperkokoh bersatunya antara kerajaan Bulo-Bulo dan Lamatti dengan ungkapannya
"PASIJA SINGKERUNNA LAMATI BULO-BULO" artinya satukan keyakinan
Lamatti dengan Bulo-Bulo, sehingga setelah meninggal dunia beliau digelar
dengan PUANTA MATINROE RISIJAINA.
Eksistensi
dan identitas kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai pada masa lalu
semakin jelas dengan didirikannya Benteng pada tahun 1557. Benteng ini dikenal
dengan nama Benteng Balangnipa, sebab didirikan di Balangnipa yang sekarang
menjadi Ibukota Kabupaten Sinjai.Disamping itu, benteng ini pun dikenal dengan
nama Benteng Tellulimpoe, karena didirikan secara bersama-sama oleh 3 (tiga)
kerajaan yakni Lamatti, Bulo-bulo, dan Tondong lalu dipugar oleh Belanda
melalui perang Manggarabombang. Agresi Belanda tahun 1559 – 1561 terjadi
pertempuran yang hebat sehingga dalam sejarah dikenal nama Rumpa’na
Manggarabombang atau perang Mangarabombang, dan tahun 1559 Benteng Balangnipa
jatuh ke tangan belanda.
Tahun
1564 adalah tahun yang amat bersejarah bagi daerah Sinjai yang diwakili oleh
kerajaan Bulo-bulo yang mendapat banyak kunjungan dari dua kerajaan besar yang
sedang berperang dan berebut pengaruh. Hal ini disebabkan karena letak daerah
Sinjai yang berada pada daerah lintas batas dan sangat strategis bagi kedua
kerajaan yakni Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.
Mengingat
bahwa kedua kerajaan yang sedang berperang tersebut mempunyai hubungan
kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan Sinjai, maka TELLLU LIMPOE dan PITU LIMPOE
berupaya untuk tidak memihak atau terlibat dalam perang tersebut, bahkan dengan
penuh kecerdikan dan kearifan, raja-raja di Sinjai berusaha mempertemukan
pimpinan kerajaan tersebut agar berunding dan berdamai. Akhirnya pada bulan
Februari 1564, Raja BULO-BULO VI LA MAPPASOKO LAO MANOE TANRUNNA berhasil
mempertemukan antara Kerajaan Gowa yang diwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMMETA
dengan LA TENRI RAWE BONGKANGNGE dari Kerajaan Bone, disaksikan oleh raja-raja lain,
sehingga lahirlah perjanjian perdamaian yang kemudian dikenal dengan PERJANJIAN
TOPEKKONG atau LAMUNG PATUE RITOPEKKONG. Disebut LAMUNG PATUE RITOPEKKONG
karena perundingan ini dilaksanakan dengan upacara penanaman batu besar, bagian
batu yang dikuburkan dalamdalam dimaksudkan sebagai simbol dikuburkannya
sikap-sikap keras yang merugikan semua pihak, sedang bagian batu yang timbul
sebagai simbol persatuan yang tidak mudah bergeser.
Perjanjian Topekkong memuat :
1. MADDUMME TO SIPALALO, artinya saling
mengizinkan mencari tempat bernaung.
MABBELLE TO SIPASORO, artinya saling
memberi keuntungan dalam menangkap ikan.
SEDDI PABBANUA PADA RIAPPUNNAI, artinya
satu penduduk kita miliki bersama.
LEMPA ASEPA MAPPANNESSA, artinya
pikulan padi yang menentukan, kemana padinya dibawa disitulah pilihannya.
2. MUSUNNA GOWA MUSUNNA TO BONE NA TELLU
LIMPOE’, MAKKUTOPI ASSIBALINNA. Artinya musuh Gowa, juga musuh Bone dan Tellu
Limpoe’, begitu pula sebaliknya.
3. SISAPPARENG DECENG, TENG SISAPPARENG JA.
Artinya saling mencari kebaikan, tidak saling mencari kejelekan
(kekurangan).
SIRUI MENRE TE SIRUI NO. Artinya saling
menaikkan, tidak saling menjatuhkan (menurunkan).
MALILU SIPAKAINGE, MALI SIPARAPPE. Artinya
saling mengingatkan, saling menyelematkan.
Tahun 1636
orang Belanda mulai datang ke daerah Sinjai. Kerajaan-kerajaan di Sinjai
menentang keras upaya Belanda untuk mengadu domba menentang keras upaya Belanda
unntuk memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di suilawesi Selatan.
Hal ini mencapai puncaknya dengan terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap
orang-orang Belanda yang mencoba membujuk Kerajaan Bulo-bulo untuk melakukan
perang terhadap kerajaan Gowa. Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat tanggal 29
Pebruari 1639 bertepatan dengan tanggal 22 Ramadhan 1066 Hijriah. Hal ini
disebabkan oleh rakyat Sinjai tetap perpegang teguh pada Perjanjian TOPEKKONG.
Tahun 1824
Gubernur Jenderal Hindia Belanda VAN DER CAPELLAN datang dari Batavia untuk
membujuk I CELLA ARUNG (PUANG CELLA MATA) Bulo-Bulo XXI agar menerima
perjanjian Bongaya dan mengizinkan Belanda Mendirikan Loji atau Kantor Dagang
di Lappa tetapi ditolak dengan tegas.
Belanda
menyerang Sinjai di bawah pimpinan Jendral Van Green dan Kolonel Biischaff.
Pasukan Sinjai di bawah pimpinan Andi Mandasini dan Baso Kalaka berhasil
memukul mundur pasukan Belanda.
Tahun 1859 Belanda
dengan pimpinan Jendral Van Swiaten kembali mengadakan serangan besar-besaran
ke Sinjai, baik melalui laut maupun darat. Oleh karena kekuatan yang tidak
seimbang maka akhirnya Sinjai direbut oleh Belanda.
Tahun 1861
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi dan Daerah, takluknya wilayah
Tellu Limpoe Sinjai dijadikan satu wilayah pemerintahan dengan sebutan Goster
Districten. Tanggal 24 pebruari 1940, Gubernur Grote Gost menetapkan pembangian
administratif untuk daerah timur termasuk residensi Celebes, dimana Sinjai
bersama-sama beberapa kabupaten lainnya berstatus sebagai Onther Afdeling
Sinnai terdiri dari beberapa adats Gemenchap, yaitu Cost Bulo-bulo, Tondong,
Manimpahoi, Lamatti West, Bulo-bulo, Manipi dan Turungeng.
Pada masa
pendudukan Jepang, struktur pemerintahan dan namanya ditata sesuai dengaan
kebutuhan Bala Tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng. Setelah Proklamasi
Kemerdekaan 1945 yakni tanggal 20 Oktober 1959 Sinjai resmi menjadi sebuah
kabupaten berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 1959.
*dari berbagai sumber
Pertanyaannya adalah apakah I Cella Arung adalah Seorang Raja atau siapa ?
BalasHapusWah baru saya tahu klw kakek buyutku A.Mandasini Petta pute isinna (Klw kami menyebutnya petta tombong) adalah Panglima Kerajaan Bulo-bulo. Saya kecil di Sinjai sudah ada nama Jl. A.Mandasini tapi baru tau klw itu nama kakek saya. Terima Kasih atas penghargaan kepada Kakek saya.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusWah baru saya tahu klw kakek buyutku A.Mandasini Petta pute isinna (Klw kami menyebutnya petta tombong) adalah Panglima Kerajaan Bulo-bulo. Saya kecil di Sinjai sudah ada nama Jl. A.Mandasini tapi baru tau klw itu nama kakek saya. Terima Kasih atas penghargaan kepada Kakek saya.
BalasHapusSiapa seharusnya yang meneruskan kerajaan lamatti, turunan dari puang bendong atau turunan dari puang makku
BalasHapus