Minggu, 23 Maret 2014

KABUPATEN SINJAI


Kabupaten Sinjai adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Sinjai. Kota Sinjai berjarak sekitar ±220 km dari Kota Makassar. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 819,96 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 225.000 jiwa.

Kabupaten Sinjai mempunyai nilai historis tersendiri, dibanding dengan kabupaten - kabupaten lain yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Dulu terdiri dari beberapa kerajaan-kerajaan, seperti kerajaan yang tergabung dalam federasi Tellu Limpoe dan kerajaan - kerajaan yang tergabung dalam federasi Pitu Limpoe. Tellu limpoe terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berada dekat pesisir pantai yakni Kerajaan Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti, serta Pitu Limpoe adalah kerajaan-kerajaan yang berada di daratan tinggi yakni Kerajaan Turungen, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.


Kabupaten Sinjai berdasarkan penelusuran sejarah, dimulai dari pemukiman pertama di WAWO BULU' Manipi Kecamatan Sinjai Barat di sebelah timur Malino. Dalam lontara susunan raja-raja yang ada di Sinjai pada masa lampau, bahwa yang pertama menjadi Raja dan Arung ialah MANURUNG TANRALILI, yang kemudian dikenal dengan gelar TIMPA’E TANA atau TO PASAJA. Keturunan Puatta TIMPA’E TANA atau TO PASAJA merupakan cikal bakal dan pendiri Kerajaan Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti. Adapun kerajaan yang pertama berkembang di wilayah PITU LIMPOE adalah Kerajaan TurungEng, Rajanya adalah seorang wanita yang diperistrikan oleh Putra Raja Tallo. Salah seorang wanita kawin dengan seorang putra Raja Bone, dari perkawinan itu lahirlah tujuh orang anak, yaitu seorang anak wanita dan enam orang laki-laki. Anak yang wanita kemudian menggantikan ibunya memerintah di TurungEng, sementara yang lain ada di Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.

Watak dan karakter masyarakat tercermin dari system pemerintahan demokratis dan berkedaulatan rakyat. Komunikasi politik di antara kerajaan-kerajaan dibangun melalui landasan tatanan kesopanan yakni Sipakatau yaitu Saling menghormati, serta menjunjung tinggi nilai-nilai konsep Sirui Menre’ Tessirui No’ yakni saling menarik ke atas, pantang saling menarik ke bawah, mallilu sipakainge yang bermakna bila khilaf saling mengingatkan. Sekalipun dari ketiga kerajaan tersebut tergabung ke dalam Persekutuan Kerajaan Tellu Limpoe namun pelaksanana roda pemerintahan tetap berjalan pada wilayahnya masing-masing tanpa ada pertentangan dan peperangan yang terjadi di antara mereka.

Bila ditelusuri hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada di kabupaten Sinjai pada masa lalu, maka nampaklah dengan jelas bahwa ia terjalin dengan erat oleh tali kekeluargaan yang dalam Bahasa Bugis disebut SIJAI artinya sama jahitannya. Hal ini diperjelas dengan adanya gagasan dari LAMASSIAJENG Raja Lamatti X untuk memperkokoh bersatunya antara kerajaan Bulo-Bulo dan Lamatti dengan ungkapannya "PASIJA SINGKERUNNA LAMATI BULO-BULO" artinya satukan keyakinan Lamatti dengan Bulo-Bulo, sehingga setelah meninggal dunia beliau digelar dengan PUANTA MATINROE RISIJAINA.

Eksistensi dan identitas kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai pada masa lalu semakin jelas dengan didirikannya Benteng pada tahun 1557. Benteng ini dikenal dengan nama Benteng Balangnipa, sebab didirikan di Balangnipa yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten Sinjai.Disamping itu, benteng ini pun dikenal dengan nama Benteng Tellulimpoe, karena didirikan secara bersama-sama oleh 3 (tiga) kerajaan yakni Lamatti, Bulo-bulo, dan Tondong lalu dipugar oleh Belanda melalui perang Manggarabombang. Agresi Belanda tahun 1559 – 1561 terjadi pertempuran yang hebat sehingga dalam sejarah dikenal nama Rumpa’na Manggarabombang atau perang Mangarabombang, dan tahun 1559 Benteng Balangnipa jatuh ke tangan belanda.

Tahun 1564 adalah tahun yang amat bersejarah bagi daerah Sinjai yang diwakili oleh kerajaan Bulo-bulo yang mendapat banyak kunjungan dari dua kerajaan besar yang sedang berperang dan berebut pengaruh. Hal ini disebabkan karena letak daerah Sinjai yang berada pada daerah lintas batas dan sangat strategis bagi kedua kerajaan yakni Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.

Mengingat bahwa kedua kerajaan yang sedang berperang tersebut mempunyai hubungan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan Sinjai, maka TELLLU LIMPOE dan PITU LIMPOE berupaya untuk tidak memihak atau terlibat dalam perang tersebut, bahkan dengan penuh kecerdikan dan kearifan, raja-raja di Sinjai berusaha mempertemukan pimpinan kerajaan tersebut agar berunding dan berdamai. Akhirnya pada bulan Februari 1564, Raja BULO-BULO VI LA MAPPASOKO LAO MANOE TANRUNNA berhasil mempertemukan antara Kerajaan Gowa yang diwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMMETA dengan LA TENRI RAWE BONGKANGNGE dari Kerajaan Bone, disaksikan oleh raja-raja lain, sehingga lahirlah perjanjian perdamaian yang kemudian dikenal dengan PERJANJIAN TOPEKKONG atau LAMUNG PATUE RITOPEKKONG. Disebut LAMUNG PATUE RITOPEKKONG karena perundingan ini dilaksanakan dengan upacara penanaman batu besar, bagian batu yang dikuburkan dalamdalam dimaksudkan sebagai simbol dikuburkannya sikap-sikap keras yang merugikan semua pihak, sedang bagian batu yang timbul sebagai simbol persatuan yang tidak mudah bergeser.

Perjanjian Topekkong memuat :

1. MADDUMME TO SIPALALO, artinya saling mengizinkan mencari tempat bernaung.

MABBELLE TO SIPASORO, artinya saling memberi keuntungan dalam menangkap ikan.

SEDDI PABBANUA PADA RIAPPUNNAI, artinya satu penduduk kita miliki bersama.

LEMPA ASEPA MAPPANNESSA, artinya pikulan padi yang menentukan, kemana padinya dibawa disitulah pilihannya.

2. MUSUNNA GOWA MUSUNNA TO BONE NA TELLU LIMPOE’, MAKKUTOPI ASSIBALINNA. Artinya musuh Gowa, juga musuh Bone dan Tellu Limpoe’, begitu pula sebaliknya.

3. SISAPPARENG DECENG, TENG SISAPPARENG JA. Artinya saling mencari kebaikan, tidak saling mencari kejelekan (kekurangan).

SIRUI MENRE TE SIRUI NO. Artinya saling menaikkan, tidak saling menjatuhkan (menurunkan).

MALILU SIPAKAINGE, MALI SIPARAPPE. Artinya saling mengingatkan, saling menyelematkan.

Tahun 1636 orang Belanda mulai datang ke daerah Sinjai. Kerajaan-kerajaan di Sinjai menentang keras upaya Belanda untuk mengadu domba menentang keras upaya Belanda unntuk memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di suilawesi Selatan. Hal ini mencapai puncaknya dengan terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Belanda yang mencoba membujuk Kerajaan Bulo-bulo untuk melakukan perang terhadap kerajaan Gowa. Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat tanggal 29 Pebruari 1639 bertepatan dengan tanggal 22 Ramadhan 1066 Hijriah. Hal ini disebabkan oleh rakyat Sinjai tetap perpegang teguh pada Perjanjian TOPEKKONG.

Tahun 1824 Gubernur Jenderal Hindia Belanda VAN DER CAPELLAN datang dari Batavia untuk membujuk I CELLA ARUNG (PUANG CELLA MATA) Bulo-Bulo XXI agar menerima perjanjian Bongaya dan mengizinkan Belanda Mendirikan Loji atau Kantor Dagang di Lappa tetapi ditolak dengan tegas.

Belanda menyerang Sinjai di bawah pimpinan Jendral Van Green dan Kolonel Biischaff. Pasukan Sinjai di bawah pimpinan Andi Mandasini dan Baso Kalaka berhasil memukul mundur pasukan Belanda.

Tahun 1859 Belanda dengan pimpinan Jendral Van Swiaten kembali mengadakan serangan besar-besaran ke Sinjai, baik melalui laut maupun darat. Oleh karena kekuatan yang tidak seimbang maka akhirnya Sinjai direbut oleh Belanda.

Tahun 1861 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi dan Daerah, takluknya wilayah Tellu Limpoe Sinjai dijadikan satu wilayah pemerintahan dengan sebutan Goster Districten. Tanggal 24 pebruari 1940, Gubernur Grote Gost menetapkan pembangian administratif untuk daerah timur termasuk residensi Celebes, dimana Sinjai bersama-sama beberapa kabupaten lainnya berstatus sebagai Onther Afdeling Sinnai terdiri dari beberapa adats Gemenchap, yaitu Cost Bulo-bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Bulo-bulo, Manipi dan Turungeng.

Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan dan namanya ditata sesuai dengaan kebutuhan Bala Tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 yakni tanggal 20 Oktober 1959 Sinjai resmi menjadi sebuah kabupaten berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 1959.
*dari berbagai sumber

5 komentar:

  1. Pertanyaannya adalah apakah I Cella Arung adalah Seorang Raja atau siapa ?

    BalasHapus
  2. Wah baru saya tahu klw kakek buyutku A.Mandasini Petta pute isinna (Klw kami menyebutnya petta tombong) adalah Panglima Kerajaan Bulo-bulo. Saya kecil di Sinjai sudah ada nama Jl. A.Mandasini tapi baru tau klw itu nama kakek saya. Terima Kasih atas penghargaan kepada Kakek saya.

    BalasHapus
  3. Wah baru saya tahu klw kakek buyutku A.Mandasini Petta pute isinna (Klw kami menyebutnya petta tombong) adalah Panglima Kerajaan Bulo-bulo. Saya kecil di Sinjai sudah ada nama Jl. A.Mandasini tapi baru tau klw itu nama kakek saya. Terima Kasih atas penghargaan kepada Kakek saya.

    BalasHapus
  4. Siapa seharusnya yang meneruskan kerajaan lamatti, turunan dari puang bendong atau turunan dari puang makku

    BalasHapus

MENU BAR