Senin, 24 Maret 2014

Belajar Huruf LONTARA



Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).

Lontara adalah perkembangan dari tulisan Kawi yang digunakan di kepulauan Indonesia sekitar tahun 800-an. Namun dari itu, tidak diketahui apakah Lontara merupakan turunan langsung dari Kawi atau dari kerabat Kawi lain karena kurangnya bukti. Terdapat teori yang menyatakan bahwa tulisan Lontara didasarkan pada tulisan Rejang, Sumatra selatan karena adanya kesamaan grafis di antara dua tulisan tersebut. Namun hal ini tidak berdasar, karena beberapa huruf lontara merupakan perkembangan yang berumur lebih muda.
Istilah "Lontara" juga mengacu pada literatur mengenai sejarah dan geneologi masyarakat Bugis. Contoh paling panjang dan terkenal barangkali merupakan mitos penciptaan bugis Sure’ Galigo, dengan jumlah halaman yang mencapai 6000 lembar. Lontara pernah dipakai untuk menulis berbagai macam dokumen, dari peta, hukum perdagangan, surat perjanjian, hingga buku harian. Dokumen-dokumen ini biasa ditulis dalam sebuah buku, namun terdapat juga medium tulis tradisional bernama Lontara’, dimana selembar daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada tape recorder. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan.
Walaupun penggunaan aksara Latin telah menggantikan Lontara, tulisan ini masih dipakai dalam lingkup kecil masyarakat Bugis dan Makassar. Dalam komunitas Bugis, penggunaan Lontara terbatas dalam upacara seperti pernikahan, sementara di Makassar tulisan Lontara kadang dibubuhkan dalam tanda tangan dan dokumen pribadi.
Lontara adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 23 konsonan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan mempunyai vokal inheren /a/, dapat dibaca /É”/ dalam bahasa Bugis (artikulasi vokal inheren yang sama dapat ditemukan dalam aksara Jawa), yang diubah dengan pemberian diakritik tertentu menjadi vokal /i/, /u/, /e/, /É™/, atau /o/. Namun dari itu, Lontara tidak memiliki sebuah tanda virama (tanda pemati vokal) atau tanda konsonan akhir. Bunyi nasal /Å‹/, glotal /Ê”/, dan gemitasi konsonan dalam bahasa Bugis tidak ditulis. Karena itu, teks Lontara dapat menjadi sangat rancu bagi yang tidak terbiasa. Semisal SA RA dapat dibaca sara 'kesedihan', sara' 'menguasai', atau sarang 'sarang'.
Masyarakat Bugis memanfaatkan kekurangan tulisan ini dalam permainan bahasa Basa to Bakke’ ('bahasa orang-orang Bakke’') dan Elong maliung bÉ™ttuanna ('lagu dengan arti dalam').Basa to Bakke’ hampir sama dengan mengejek, dimana dua kata dengan makna berbeda namun pengejaan yang sama dimanipulasi untuk membentuk frase dengan makna tersembunyi. Elong maliung bettuanna juga bekerja dengan prinsip yang sama, dimana pendengar menerka cara baca yang benar dari suatu puisi tidak bermakna untuk menyingkap pesan dari puisi tersebut.
Lontara ditulis dari kiri ke kanan, namun tulisan ini juga dapat ditulis secara tidak beraturan (boustrophedon). Umumnya metode kedua diterapkan dalam buku harian Bugis tua, yang setiap halamannya direservasi untuk kejadian dalam satu hari saja. Ketika seorang penulis kehabisan tempat untuk kejadian satu hari, baris terakhir akan berbelok dan berputar dalam alur zig-zag hingga tidak tersisa tempat lagi di halaman tersebut.
Huruf-huruf Lontara kontemporer dengan mudah dapat diidentifikasi dari bentuknya yang cenderung lebih kaku dan anguler dibanding aksara Brahmi lainnya. Terdapat dua varian tua yang bentuknya lebih melengkung; Toa jangang-jangang dan Bilang-bilang. Lontara ditulis tanpa spasi (scriptio continua).
Konsonan Lontara (indo’ surÉ™’ or ina’ surÉ™’) terdiri dari 23 huruf, Seperti yang sebelumnya dijelaskan, Lontara tidak memiliki tanda pemati vokal seperti halant atau virama yang umum dalam aksara-aksara Brahmi. Bunyi nasal /Å‹/, glotal /Ê”/, dan gemitasi konsonan dalam bahasa Bugis tidak ditulis (dengan pengecualian glotal awalm yang menggunakan konsonan kosong "a").
Empat klaster konsonant yang sering terjadi ditulis dengan huruf spesifik, yaitu ngka, mpa, nra  dan nca. "Nca" sebenarnya merepresentasikan bunyi "nyca" (/ɲca/), namun ditransliterasikan hanya sebagai "nca". Namun huruf-huruf tersebut tidak digunakan dalam bahasa Makassar. Huruf ha adalah tambahan baru karena pengaruh bahasa Arab. 
Tanda baca vocal (ana’ surÉ™’) digunakan untuk mengubah vokal inheren suatu konsonan. Terdapat 5 ana’ surÉ™’, dengan /É™/ tidak digunakan dalam bahasa Makassar karena dianggap tidak memiliki perbedaan fonologis dengan vokal inheren. Tanda baca dapat dibagi menjadi dua berdasarkan bentuknya; titik (tÉ™tti’) dan aksen (kÉ™ccÉ™’).
Untuk menulis kata asing dan mengurangi kerancuan, font Bugis terbaru menambahkan tiga diakritik yang menekan vokal inheren (virama), meng-nasalkan vokal (anusvara), dan menandakan glotal serta gemitasi huruf, tergantung posisi. Diakritik ini tidak terdapat dalam Lontara tradisional, dan juga tidak memiliki alokasi dalam Unicode. Namun inovasi ini dirasa berguna oleh para ahli Bugis, seperti Djirong Basang yang bekerja dengan projek Monotype Typography untuk menyiapkan font Lontara dalam mesin LASERCOMP photo typesetting.
Pallawa, berfungsi sama seperti koma dan titik. Kadang, pallawa juga digunakan untuk pengulangan kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENU BAR